Tag

The Journey to Lawu

Objek wisata terkenal di lereng Gunung Lawu salah satunya Tawangmangu, tepatnya di sisi barat. Namun sebenarnya masih banyak tempat wisata di sisi lain Gunung Lawu yang belum ter-explore dan sangat sayang bila dilewatkan.
Kali ini saya menyusuri wilayah sebelah utara dari Gunung Lawu tepatnya di Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dan perempatan pasar Ngrambe saya tandai sebagai titik awal perjalanan. Untuk informasi ada tiga jalur untuk mencapai Ngrambe. Dari arah timur melalui Jogorogo. Sedangkan dari arah barat, kita dapat melalui Sine. Dari arah utara, bisa melalui Gendingan dan melewati Walikukun. Jalur yang umum dan termudah adalah melalui Gendingan yang merupakan jalan provinsi (Solo – Surabaya).
Perempatan ini adalah sumber ekonomi warga, karena terdapat sebuah pasar besar yang menampung hasil ladang dari berbagai desa di sekitar kecamatan Ngrambe. Bahkan banyak pedagang yang datang dari luar Ngawi seperti Solo dan Sragen. Pasar Ngrambe cukup unik karena tidak ramai setiap hari, hanya di hari pasaran saja, yaitu di hari Kliwon dan Pahing.
Saya beruntung karena tiba pada hari Kliwon, sehingga saya bisa melihat kegiatan pasar ini. Karena hari masih pagi dan butuh energi sebelum melanjutkan perjalanan, saya pun melirik ke beberapa kios penjual makanan. Dan akhirnya pilihan saya jatuh pada gulai dan sate ayam. Harga makanan di Pasar ngrambe terbilang murah dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta. Untuk semangkuk gulai plus nasi cukup dengan Rp 5.000,- begitu juga dengan seporsi sate ayam (10 tusuk) yang dihargai Rp 5.000,- saja.
Setelah perut terisi, saya siap melanjutkan perjalanan. Saya menuju ke terminal kecil yang terdapat di pojok pasar. Transportasi di wilayah ini tidak sulit terutama di hari pasaran. Ada beberapa orang yang menawarkan jasa sewa mobil dan ojek sepeda motor kepada saya. Jangan kuatir mengenai transportasi bila suatu saat Anda datang diluar hari pasaran, karena kendaraan alternatif seperti ojek sepeda motor akan selalu setia menanti kedatangan Anda.
Karena kondisi medan yang naik turun, maka bagi Anda yang berjiwa petualang bisa mencoba tantangan dengan berjalan kaki. Sekedar informasi, daerah ini sangat cocok bagi Anda yang menyukai wisata jalan-jalan di alam bebas.
Setelah duduk di boncengan ojek, motor segera melaju menuju lereng Lawu melewati desa Tawangrejo. Sepeda motor yang saya tumpangi dikendarai oleh Pak Supri yang selanjutnya saya sebut sebagai tour guide. Pandangan langsung tertuju pada Gunung Lawu yang menjulang tinggi di hadapan saya. Sungguh menakjubkan karya Sang Pencipta. Ditambah hamparan sawah luas dikanan-kiri jalan yang saya lalui, menambah perasaan menjadi damai.
Akhirnya saya sampai di sisi Grancang, yaitu sebuah bukit yang terletak di desa Lebak. Namun saya tidak naik ke puncaknya. Menurut Pak Supri selain makam kuno yang berada di puncak bukit, di tempat ini dulu terdapat patung lembu dan lemari besar yang terbuat dari batu. Namun amat disayangkan, tangan-tangan tak bertanggungjawab memindahkan peninggalan berharga itu. Pak Supri tidak tahu secara pasti sejarah dari peninggalan itu. Karena ada berbagai versi cerita yang disampaikan secara turun temurun oleh orang-orang tua di sana.

Baon

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dan sampai di sebuah tempat bernama Baon, nama sebuah hutan pinus dan cemara buatan yang terhubung langsung dengan hutan Lawu. Hutan ini awalnya hanya berupa tanah kosong, namun sekitar awal tahun 1990 atas inisiatif warga setempat mulai ditanami pepohonan untuk menahan longsor pada lereng gunung. Di sisi sebelah timur hutan ini terdapat sungai bernama Klegung, yang artinya air besar.

Klegung

Sumber aliran sungai ini berasal dari gunung Lawu. Bila kita menyelusuri tepi sungai ke dalam hutan, terdapat bagian sungai yang agak melebar dan biasa digunakan untuk warga sekitar untuk berenang.
Saya terpukau ketika tour guide saya menghentikan motornya di depan sebuah bangunan yang terbuat dari batu.

Rumah Batu

Awalnya saya mengira bangunan ini adalah bekas benteng dimasa lampau seperti Benteng Pendem di Cilacap, Jawa Tengah. Ternyata dugaan saya salah, bangunan dengan tinggi + 10M dan luas + 240m2 ini adalah sebuah rumah yang terbuat dari batu. Pemilik yang juga pembuat rumah ini adalah almarhum Mbah Tomo, ia tidak pernah berhenti menambah tumpukan batu hingga akhir hayatnya.
Perjalanan saya lanjutkan menuju perkebunan teh Jamus. Tapi berdasarkan saran guide tour saya, perjalanan selanjutnya lebih nikmat bila dilakukan sambil berjalan kaki. Meskipun bisa juga dengan motor ataupun mobil.
********.
JAMUS, adalah nama sebuah perkebunan teh di lereng utara Gunung Lawu. Bila ke tempat ini, kita akan teringat dengan kawasan Puncak, Jawa Barat. Minus vila, hotel, penginapan dan kemacetan tentunya. Keindahan alam Jamus begitu murni, sehingga Jamus memiliki pesona tersendiri bagi saya. Panorama alam yang disuguhkan sangat indah. Udara segar segera masuk ke dalam paru-paru saya. Saya sangat menikmati wisata alam kali ini. Jalan yang berkelok, jurang-jurang curam terdapat di sisi perkebunan menambah rasa kagum begitu juga rasa penasaran saya pada tempat ini.
Meskipun saya melalui Kecamatan Ngrambe, namun secara administratif Jamus merupakan bagian dari Desa Giri Kerto, Kecamatan Sine. Karena cuaca saat itu cerah, maka saya bisa melihat puncak Gunung Lawu yang begitu megah. Karena kata tour guide saya bila sedang hujan jangankan puncak Lawu, pandangan kita akan terhalang kabut dan hanya dapat melihat 3-5 meter ke depan.
Sampai di puncak perkebunan terdapat tiga pohon yang berukuran raksasa. Di bawah salah satu pohon segera terhirup wangi bunga kantil. Langsung terlintas pikiran macam-macam dipikiran saya. Tapi ketika membaca tulisan “BUMI PERKEMAHAN KANTIL IDAMAN JAMUS”, segera saja, saya menengok ke atas dan ternyata aroma wangi yang saya hirup tadi berasal dari pohon kantil yang sedang berbunga. Huh… leganya.
Tak jauh dari tumbuhnya pohon kantil raksasa itu, terdapat pabrik teh. Di pabrik inilah daun-daun teh yang saya lalui tadi diproses. Di depan pabrik terdapat sebuah pos penjagaan. Dan bagi pengunjung bisa memasuki kawasan pabrik ini dengan meminta ijin terlebih dahulu. Dikarenakan perut sudah mulai meronta, saya segera menuju ke salah satu warung makan di dekat pabrik. Jangan kuatir kelaparan bila berada di sana, karena di sekiling pabrik terdapat warung-warung kecil yang menyediakan makanan seperti pecel, soto, mi ayam, baso dan lain-lain. Seporsi mi ayam ditambah 2 bungkus kerupuk dan segelas es jeruk, cukup membuat tenang perut saya..
Saat menikmati makanan, tampak beberapa keluarga yang membawa mobil juga banyak muda-mudi yang hilir mudik baik berjalan kaki maupun naik motor secara beriringan melalui jalanan di depan warung itu berada. Kebanyakan dari mereka masih mengenakan seragam sekolah. Pak Supri menjelaskan bahwa tiap akhir pekan tempat ini banyak dikunjungi mereka yang ingin menikmati kesegaran permandian dari mata air Sumber Lanang. Saya tertarik mendengar tempat permandian ini, dan segera mengajak tour guide saya ke tempat tersebut.
Akhirnya tibalah saya di kolam permandian. Di sekeliling kolam terdapat penjaja makanan, seperti tempat wisata pada umumnya. Juga terdapat jasa parkir bagi mereka yang membawa kendaraan. Sebenarnya saya ingin mencoba merasakan kesegaran airnya, tapi karena ramai saya urungkan niat untuk nyemplung.
Sebenarnya bukan hanya itu saja alasan saya tidak ingin masuk ke kolam. Tapi karena kolam ini tidak seperti kolam mata air pada umumnya. Biasanya di tempat lain, kolam-kolam sejenis airnya terasa hangat dan terdapat kandungan belerang tapi di tempat ini jangan harap. Karena ketika saya mencoba menyentuh air yang berada di sisi kolam, airnya sedingin es. Brrrrr……..
Tidak jauh dari kolam tersebut terdapat mata air yang merupakan sumber air untuk kolam. Sebuah bangunan kecil menaungi tempat tersebut, dengan tulisan besar di atasnya SUMBER LANANG. Limpahan air tampak keluar dari cela-cela batu yang saling berhimpitan.
Karena hari sudah mulai sore, kami pun segera menuruni perkebunan teh. Jalur yang kami lalui sama seperti saat naik ke Puncak Jamus. Ada batu yang berbentuk prasasti di sisi kanan jalan dan tadi terlewat dari pandangan mata saya. Saya pun menghampiri, ternyata di tempat tersebut terdapat beberapa makam. Tidak ada tulisan yang bisa dibaca untuk mengetahui siapa yang dimakamkan di sana. Tapi menurut tour guide, makam tersebut adalah makam Belanda. Orang sekitar menyebutnya Kerkov. Namun Pak Supri tidak tahu persis siapa yang dimakamkan di tempat itu. “Mungkin mereka mandor perkebunan teh dimasa juga lampau.” Katanya.
Badan terasa lelah tapi saya sungguh menikmati perjalanan ini. Pemandanganya begitu indah, sawah yang terhampar luas, bukit dan lembah yang memukau dan berbeda satu dengan yang lain, jalan berbatu dan berliku, sungai-sungai berair jernih dan segar, membuat rasa cinta saya pada Gunung Lawu semakin besar. Suatu saat, saya pasti kembali lagi ke tempat ini.